Dunia, Manila - Kelompok penggiat hak asasi manusia, Amnesty Internasional menyebutkan bahwa polisi Filipina diduga kuat melakukan kejahatan kemanusiaan dalam perang melawan narkoba. Temuan Amnesty menemukan sejumlah cara kejam polisi dalam menjalankan tugasnya.

Laporan Amnesty berdasarkan penyelidikan mendalam tentang perang narkoba terhadap 59 pembunuhan terduga pengedar di 20 kota dan pedesaan di Filipina.

Berita terkait:
Presiden Duterte Ingin Basmi Narkoba Seperti Nazi Hitler
Duterte Perintahkan Operasi Antinarkoba Dihentikan Sementara 
Militer Filipina Minta Dilibatkan dalam Memberangus Narkoba 

"Bertindak atas perintah pejabat, polisi dan pembunuh bayaran tanpa ampun menargetkan siapa saja yang dicurigai menggunakan obat terlarang. Investigasi kami menunjukkan gelombang pembunuhan di luar hukum ini dilakukan secara luas, direncanakan dan sistematis, dan bisa dianggap kejahatan kemanusiaan," kata penasihat senior krisis Amnesty, Rawya Rageh.

Bahkan  Amnesty menemukan  keterangan saksi kerap berbeda dengan pernyataan polisi. Dalam wawancara dengan 110 saksi, Amnesty menemukan bahwa polisi menembak mati para terduga pelaku meski telah menyerah.

Saksi mengatakan kepada Amnesty bahwa penggerebekan polisi sering terjadi di lingkungan yang kumuh dan miskin pada larut malam. Para korban pembunuhan tersebut kebanyakan tidak bersenjata dan telah menyerah terlebih dahulu. Selama ini polisi mengatakan bahwa mereka yang ditembak adalah orang yang melawan saat ditangkap.

Dalam beberapa kasus, polisi diduga sengaja menyimpan narkoba dan senjata dalam rumah target untuk menjarah isi rumah.

Menurut data Amnesty berdasarkan penelitian sejak November 2016 hingga Januari 2017, operasi narkoba yang digagas Presiden Duterte sudah berjalan 7 bulan dan hasilnya sekitar 7.669 terduga pelaku tewas.  Dari jumlah tersebut, 2.500 di antaranya tewas di tangan polisi dan sisanya dilakukan oleh masyarakat sipil.

Amnesty yang berkantor di London, Inggris tersebut juga memiliki bukti bahwa pembunuh bayaran biasanya memiliki hubungan yang dekat dengan penguasa. Selain itu, pejabat seringkali menaruh daftar nama para terduga pengedar hanya berdasarkan kecurigaan dan spekulasi.

Selain itu, Amnesty menuduh polisi menembak mati penduduk yang tidak berdaya untuk mempertahankan diri, memalsukan bukti, menyewa pembunuh bayaran membunuh pecandu narkoba dan mencuri dari mereka yang dibunuh atau keluarga korban.

"Kami biasanya menerima nama, foto dan terduga pengedar narkoba dari polisi," kata seorang pembunuh bayaran, seperti yang dilansir Daily Mail pada 1 Februari 2017.

Sejauh ini belum ada tanggapan pemerintah Filipina terkait laporan Amnesty tersebut.

Presiden Duterte pada Selasa, 31 Januari 2017, memerintahkan semua polisi untuk menghentikan sementara perang terhadap narkoba. Pengumuman itu dilakukan untuk membersihkan polisi korup.

Namun presiden bersumpah untuk terus melakukan perang melawan narkoba sampai masa jabatannya berakhir pada 2022. Duterte memerintahkan militer dan lembaga penegak narkoba di bawah kantornya untuk melanjutkan operasi pemberangusan narkoba.

DAILY MAIL|CNN|YON DEMA