Travel, Mashad -Menyambut peringatan 40 hari gugurnya Imam Hussain di Irak, pertengahan November 2016 lalu, wartawan Tempo Ahmad Taufik mengikuti prosesi istimewa--berjalan kaki sekitar 100 kilometer dari Najaf ke Karbala bersama jutaan peziarah Syiah dari pelbagai negara. Selain mengikuti prosesi perkabungan (arbain), Tempo mengunjungi sejumlah makam dan tempat lain yang banyak diziarahi orang antara Irak dan Iran. Berikut catatan perjalanannya mengunjungi makam para tokoh di kawasan Mashad.

***

Dari Najaf, Irak, kami terbang hampir dua jam ke Mashad, Iran. Hampir semua peziarah, terutama asal Indonesia, mampir ke Mashad setelah prosesi arbain di Karbala. Masuk ke Mashad lebih mudah prosedurnya dibanding masuk melalui Bandara Imam Khomeini di Teheran. Petugas imigrasi di sana sangat bersahabat kepada peziarah Imam Reza. Saya, yang tak mengantongi visa dari Jakarta, bisa mengurus visa on arrival dalam hitungan menit. Hanya membayar biaya visa tak sampai US$ 65 (sekitar Rp 845 ribu).

Di Mashad, saya dan rombongan hendak berziarah ke makam Imam Ridho. Dalam ajaran Syiah Imamiah atau Syiah 12 Imam (itsna asyariyah), makam para imam Syiah tersebar di tanah Arab, yakni di pemakaman Baqi, Madinah, dan beberapa kota di Irak. Hanya satu, yaitu imam kedelapan, Ali ar-Ridho, anak Imam Musa Kadzim--di Iran biasa disapa Imam Reza--yang terpisah.

Lahir di Madinah pada 148 Hijriah atau 765 Masehi, imam ini dikenal pandai dan selalu memelopori diskusi antaragama saat pemerintahan di bawah khalifah bani Abasiyah, Al-Ma’mun. Ia hijrah ke Mashad di kawasan Khurasan, Persia, dan tewas diracun sang khalifah.

Kompleks makam Imam Ridho luas serta megah dan senantiasa menjadi nukleus dari kota kedua terbesar di Iran itu. Mashad merupakan kota modern yang tertata rapi. Pedestriannya lebar dan nyaman. Transportasi publik juga terintegrasi antara kereta bawah tanah dan bus (mirip Transjakarta). Di seputar haram--demikian sebutan makam Imam Ridho--tampak deretan pertokoan. “Kompleks toko ini milik Yayasan Imam Ridho. Imam termakmur ini menyumbang banyak untuk masyarakat bukan hanya untuk Kota Mashad, tapi juga seluruh dunia,” kata Ustad Ahmad Hidayat, pembimbing ziarah.

Sebagai tamu Imam Ridho, kami mendapat undangan makan dari pengurus makam. Pulangnya, pengurus itu menghadiahi kami sebungkus gula-gula dan garam. Imam Syiah menganjurkan sebelum makan sebaiknya mencicipi garam.

Siang itu suasana Mashad sangat ramai dan meriah, terutama di sekitar makam Imam Ridho. Ada parade drum band dan unjuk pedang. Saat itu memang memasuki Hari Syahidnya Imam Ridho.

Pada 2017, UNESCO menetapkan Mashad sebagai kota kebudayaan Islam. Kampanye tentang itu dilakukan lembaga ilovehussain.org di antara perjalanan Najaf dan Karbala. Lembaga yang berpusat di Iran dan memiliki sejumlah relawan dari seluruh dunia ini--termasuk dari Indonesia--memiliki mawkib (tempat persinggahan) di tiang 741. Mereka menyediakan tenda istirahat yang nyaman, makan siang dan malam gratis, foto-foto gratis, permainan anak, dan informasi tentang lembaga tersebut. Bahkan disediakan undian gratis, undangan ke Mashad 2017, bagi peserta yang mengisi amplop. Rencananya, dari setiap negara akan diundang minimal satu orang.

Nama Mashad dalam bahasa Arab berarti “tempat para syuhada”. Sejumlah penyair lahir di kota ini, seperti Shahnameh, yang terkenal dengan panggilan Ferdowsi. Mashad juga terkenal sebagai kota dengan perpustakaan literatur Islam terlengkap di dunia dalam bahasa Arab, Persia, Prancis, dan Inggris. Karena itulah UNESCO menjatuhkan pilihan Mashad sebagai kota pusat kebudayaan Islam.

Selanjutnya: Khayyam, si Ahli Mate-matika dan Penyair